Subscribe:

Ads 468x60px

sedang melaut

Jumat, 18 September 2015

Kelemahan dalam perencanaan kawasan konservasi terumbu karang

Making conservation planning accessible Perencanaan konservasi harus dapat diakses dengan mudah oleh seluruh komponen masyarakat. Perencaanaan KKP selama ini hanya terbatas pada pertemuan-pertemuan, rapat dan workshop. Namun untuk menjaring aspirasi dari masyarakat yang tidak terlibat dalam kegiatan tersebut belum ada. Pembuatan situs web khusus menegenai perencanaan belum ada dan pengadaaan sekretariat di tempat yang mudah didatangi masyarakat juga belum dilakukan. Pembuatan web dan sekretarian dipandang perlu untuk merencanakan kawasan konservasi karena akses informasi yang lebih mudah dan disesuaikan dengan kesempatan masyrakat untuk mendapatkannya. Pengadaaan sekretarian perencanaan kkp penting untuk memberi informasi dan menjaring respon dari masyarakat mengenai kawasan konservasi. Issue Integrating conservation planning with other planning processes perencanaan kawasan konservasi perairan sangat tergantung pada MUSREMBANG yang dilakukan pada tingkat desa sampai pusat. Proses ini mengakibatkan isu kawasan konservasi sangat lemah dan perencanaan pembangunan lebih mengutamakan pada pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, fasilitas umum seperti sekolah dan pasar. Selain itu juga para pengambil keputusan saat musrembang tidak memahami makna dan hakikat konservasi. Building local capacity for conservation planning Lemahnya kualitas sumberdaya masyarakat lokal seringkali menjadi penyebab gagalnya pengelolaan kawasan koservasi perairan. Selama ini perencanaan KKP jarang dicetuskan oleh masyarakat lokal, namun seringkali merupakan hasil kajian dari para akademisi, LSM dan pemerintah. Dampaknya adalah pemahaman yang tidak sempurna tentang KKP mulai dari perencanaan sampai pengelolaan, faktor inilah yang menjadi titik lemah KKP. Sebagai contoh, pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Raja Ampat melibatkan tenaga ahli dari luar negeri mulai tahap perencanan sampai pada tahap pengelolaan. Partisipasi masyarakat lokal hanya pada kegiatan-kegiatan informal seperti penunjuk jalan dan pemberi informasi (informan) tentang karakteristik kawasan. Institutionalising conservation planning within governments Melembagakan perencanaan kawasan konservasi selama ini masih sangat lemah. Tanggung jawab mengenai konservasi hanya berfokus pada lembaga terkait. Namun lembaga terkaitpun hanya dipercayakan pada unit kerja yang lebih kecil, sehingga gaungnya masih sangat lemah. Seperti di Kementrian Kelautan dan Perikanan, yang bertanggung jawab penuh hanya direktorat KKJI, sementara direktorat lain tidak merasa perlu untuk terlibat. Melembagakan konservasi harus dilakukan dan menyatu dengan semua elemen pemerintahan sampai pada tingat yang tertinggi untuk memudahkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan. Konflik kepentingan terjadi, terutama antara Kemhut, KKP, pemda dan stake holders (nelayan, pembudidaya, LSM dan pengusaha perikanan). Kepentingan Kemhut lebih cenderung kepada resim perlindungan dan penguasaan wilayah dan kurang bersifat akomodatif terhadap kepentingan pihak lain. Sementara KKP dalam banyak hal lebih demokratis dan mengedepankan kepentingan stake holders kelautan. Kepentingan utama KKP adalah menjamin agar sumberdaya ikan dapat lestari dan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Dalam hal pengelolaan ikan termasuk menetapkan jenis ikan yang dilindungi dan perdagangannya terbatas sebagaimana CITES, masih berada di Kemhut, termasuk izin untuk Ikan Arwana dan penambangan karang jenis tertentu. Konflik Kemhut dengan stake holders di laut terjadi dalam pemberian izin budidaya ikan atau penangkapan ikan di wilayah perairan yg ditetapkan sebagai taman nasional. Integrating plans across governance levels Mengitegrasikan perencanaan konservasi pada semua tingkat pemerintahan perlu dilakukan. Selama ini perencaan konservasi tersekat sekat berdasarkan kepentingan dan tidak terintegrasi pada semua level pemerintahan. Level pemerintahan sangat menentukan penenteuan prioritas usulan kegiatan pada proses musrembang, dimana permasalahan lingkungan dan konservasi belum menjadi proiritas dan orang - orang yang terlibat didalamnya belum memahami atau mendukung kawasan konservasi sebagai prioritas penting. Planning across governance boundaries Perencanaan kawasan konservasi belum terintegrasi dan melintasi batas antara lembaga dan level pemerintahan. Pelibatan dan kejasama antara lintas level pemerintahan belum melembaga dan mengikat. Hanya merupakan informasi formal tanpa adanya aksi tindak lanjut yang nyata. Pimpinan pada level pemerintahan harus terikat secara hukum dalam proses perencanaan KKP. Hal ini mengakibatkan orientasi sektoral dalam perencanaan KKP. Pelibatan institusi lain sangat penting bagi perencanaan kawasan konservasi perairan. Aparat hukum seperti polisi, jaksa dan hakim serta TNI perlu dilibatkan untuk memahami aspek hukum dan penerapannya. Namun pengelolaan Kawasan konservasi di laut sampai saat ini tidak dilaksanakan secara profesional, tidak ada pengawasan dan amburadul. Pemerintah dan Pemda lebih senang menetapkan kawasan konservasi dalam jumlah banyak, namun kenyataan menunjukkan banyak terjadi pelanggaran di kawasan konservasi tanpa adanya upaya pencegahan dan law enforcement. Planning for multiple tools and objectives Belum adanya standar ukuran KKP yang efektif misalnya zona inti tidak harus permanen di suatu tempat namun dapat berpindah ke tempat lain tergantung pada kondisi ekologi. KKP belum terintegrasi dengan kawasan konservasi darat yang saling berhubungan.Tata kelola pemerintahan dan kompleksitas geografi merupakan hambatan utama dalam merncanakan KKP. Perencanaan yang terjadi masih fokus pada masalah ekologi dan ekonomi kawasan dan belum terintegrasi dengan kepentingan lainnya seperti pariwisata, ilegal fishing, kedaulatan bangsa dan aktivitas lain yang juga dapat memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Understanding limitations of data Data keanekragaman hayati, biaya, ancaman dan peluang serta variabel spasial lainnya menjadi faktor pembatas dalam perencanaan KKP. Data yang lengkap dalam skala yang lebih luas sangat susah sehingga dapat mempengaruhi proses perencanaan. Data yang lengkap hanya mencakup daerah yang sempit saja dan tidak mewakili suatu kawasan. Saat ini, sebagian besar penelitian dan pemantauan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil dibawah Kementrian Kelautan dan Perikanan RI. Penelitian oleh lembaga akademik dan lembaga non pemerintahan lainnya. Namun sering dilakukan secara terpisah tanpa pendekatan yang kohesif dan cenderung berulang ulang sehingga tidak memberi jawaban yang tepat terkait dengan pengelolaan kawasan. Informasi penting mengenai pola perekrutan larva serta pergerakan spesies ikan target komersial dan perilaku pemijahan, konektivitas, belum diketahui. Untuk meningkatkan manajemen,diinginkan untuk menggunakan skema monitoring yang lebih ketat untuk menangkap semua informasi penting tersebut. Selain itu, komunikasi antara pihak pemerintah dan akademisi serta lembaga lain sangat kurang. Developing better measures of progress and effectiveness Ukuran keberhasilan suatu kkp masih belum jelas baik dari segi input, output dan outcome. Belum adanya program pemantauan dan evaluasi untuk menghasilkan data yang dapat digunakan untuk menilai dampak perubahan. Kondisi sosial ekonomi seperti indikator kesejahteraan masyarakat disekitar KKP sebelum dan setelah adanya KKP juga perlu perhatikan. Penegakan hukum dan integrasi dengan pemerintahan lokal juga menjadi kendala dalam mengukur kemajuan dan efektivitas pengelolaan KKP. Aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan masih sering terjadi di sekitar atau bahkan di dalam kawasan KKP namun belum ada sangsi yang tegas terhadap pelaku. Making a long-term commitment Pengelolaan KKP di Indonesia sangat tergantung pada lembaga donor Internasional, namun seringkali kesepakatan itu tidak terjadi karena merupakan komitmen jangka panjang, dan banyak masalah yang sangat kompleks sehubungan dengan pelaksanaan rekomendasi pengelolaan, sehingga banyak KKP menjadi tidak efektif bahkan tidak terurus. Masalah besar lainnya adalah tingginya biaya-biaya yang dibutuhkan dalam manajeman pengembangan, konsultasi, dan penelitian, mengambil proporsi yang tinggi dari total biaya dan hanya menyisakan sedikit dana untuk biaya implementasi yang akhirnya mengarah pada kegagalan pengelolaan KKL.

0 komentar: